Reshuffle Kabinet dan Wajah Politik Indonesia

Hari-hari belakangan ini, ruang publik di Tanah Air, terutama dalam jagad politik di ranah domestik,  kerap kali dikejutkan dengan aneka peristiwa yang muncul ke atas permukaan melalui ledakan sosial politik yang amat kuat, dan rasanya bagai  petir menyambar di siang bolong.

[ https://www.infotangsel.co.id/2020/12/reshuffle-kabinet-dan-wajah-politik.html ]
Betapa tidak,  di tengah hiruk pikuk aparat hukum yang sedang menindaklanjuti  proses penegakkan hukum  terhadap sekelompok warga negara yang  melakukan tindakan melawan hukum karena  pelanggaran aturan Protokol Kesehatan Pandemi Covid-19, muncul pula kasus lain yang  sangat  menyita perhatian publik, yaitu kasus korupsi yang  melibatkan Pejabat Negara yang dalam hal ini adalah Menteri Negara Pembantu Presiden.

Peristiwa ini sontak menggetarkan nurani publik,  karena dilakukan di tengah Pandemi Covid-19, dimana hampir semua masyarakat Indonesia sedang mengalami kesulitan hidup karena dampak dari Pandemi Covid-19.

Tindak pidana korupsi dimaksud dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang berkaitan dengan ekspor benih lobster, serta korupsi Dana Bansos (Bantuan Sosial)  oleh  Menteri Sosial Republik Indonesia.

Berita korupsi  dimaksud, telah membuat semua pihak menjadi terperangah,  sembari merasa heran dengan niat bertanya dalam nada bahasa tanpa kata,  apa gerangan yang sedang terjadi,  dan bahkan hampir pula tak percaya, bahwa Menteri Negara melakukan perbuatan tercela yaitu tindak pidana korupsi, lalu ditangani oleh KPK (Komisi Permberantsan Korupsi)  melalui OTT (Operasi Tangkap Tangan).

Sebagaimana diketahui publik bahwa, perbuatan melawan hukum melalui tindak pidana korupsi di kedua kementerian tersebut di atas merupakan  perbuatan pidana yang dilakukan berulang kali, karena pada waktu yang lampau,  di Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah pernah ada Menteri Kelautan dan Perikanan yang melakukan tindak pidana korupsi dan dijebloskan ke dalam penjara.

Demikian juga di Kementerian Sosial,  dimana perbuatan serupa, termasuk dengan peristiwa tindak pidana terakhir ini, maka sudah ada tiga orang Menteri Sosial yang terjerat kasus korupsi.

Korupsi di Kementerian Sosial ini yang justeru semakin menyayat hati, karena tindak pidana  dimaksud dilakukan terhadap perangkat kelengkapan Bansos bagi para warga masyarakat yang sangat membutuhkan,  dan sedang mengalami kesulitan hidup sebagai dampak dari Pandemi Covid -19.  

Atas situasi yang demikian itu, lalu  muncul pula pertanyaan di benak publik,  bagaimana mungkin orang sekelas Menteri Negara yang sudah tentu memiliki reputasi dan kredibilitas kelas satu,  dengan status sosial sebagai kalangan "the have", tetapi  masih juga mau melakukan perbuatan tercela,  yaitu tindak pidana korupsi di tengah Pandemi Covid-19.

Tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh pejabat negara sekelas menteri ini,  pada akhirnya meruntuhkan semua karir politik dan reputasi sosial yang dibangun secara masif selama ini. Selain itu,  tindakan yang tercela ini pula,  sudah jelas amat mengecewakan dan melukui hati nurani masyarakat di Tanah Air.

Pertanyaan mengenai mengapa Pejabat Tinggi  sekelas Menteri Negara masih melakukan tindakan korupsi sebagai perbuatan tak pantas ini, dapat dipahamai secara lugas bahwa, sejatinya perilaku korupsi merupakan persoalan mentalitas dan gaya hidup yang  diselimuti dengan gengsi sosial untuk  menikmati kepuasan semu yang  tak berujung dalam kenyataan dan keseharian hidup.

Kecuali itu,  mentalitas para Pejabat Negara yang sering melakukan tindak Pidana Korupsi,disebabkan karena tidak adanya efek jera dari hukuman yang  diterima, dimana hal itu sering dianggap sebagai hukuman yang tidak cukup memberatkan bagi para pelaku korupsi.

Pada hal,  ketika ditetapkan sebagai tersangka,  lalu diberikan busana baju oranye dan ditampilkan ke muka publik di layar kaca, maka semestinya hal itu sudah dapat merupakan sangsi sosial yang berat bagi pelaku korupsi.

Dikatakan demikian,  karena moment seperti itu  merupakan tampilan yang mengandung muatan sanksi moral yang serius, karena semua identitas moral dan  sosial yang menopang kredibilitas pribadi yang unggul selama ini, menjadi lenyap dan sirna seketika (teruskan baca artikel selengkapnya.... 👮👇 )

Reshuffle Kabinet

Resuffle Kabinet merupakan Hak Prerogatif Presiden,  karena yang punya otoritas untuk memilih dan mengangkat  para Menteri  sebagai Pembantu Presiden adalah Presiden itu sendiri.

Hal ini merupakan kewenangan yang  melekat pada dirinya  sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan  dengan konsekuensi logis dari sistem Pemerintahan Presidensial.

Meskipun Keputusan Presiden untuk melakukan perombakkan kabinet kali ini,  tidak saja atas dasar tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh dua orang Menteri di Kabinetnya, tetapi tindakan korupsi dari kedua menteri tersebut sudah menjadi semacam keniscayaan realistis yang mendasari pertimbangan obyektif untuk dilakukannya Resuffle Kabinet.

Bahwa dengan itu, lalu terjadi juga pergantian Menteri  pada Empat Kemeterian yang lain,  maka hal itu dapat merupakan resonansi politik dari kebijakan Presiden sebagai pemegang otoritas moral dan sosial, serta hak prerogatif untuk menentukan muatan dan arah kebijakan strategis dari kabinetnya.

Sudah menjadi  semacam common sense bagi publik di Tanah Air bahwa,  performa kabinet Presiden Jokowi pada periode kedua ini, tidak semuanya menunjukkan kinerja yang optimal dalam mewujudkan Visi dan Misi Presiden.

Dan hal itu dapat terungkap secara eksplisit ketika Presiden melakukan Resuffle Kabinet terhadap  enam orang Menteri sekaligus.

Perombakkan Kabinet itu telah menimbulkan pro dan kontra di muka publik, karena beragam ekspektasi dari berbagai pihak yang tidak sesuai dengan aspirasinya.

Akan tetapi, perlu pula dipahami bahwa Presiden Jokowi  juga tidak mungkin dapat memenuhi harapan dan keinginan untuk memuaskan hati dari semua pihak.

Kendatipun demikian, langkah cepat Presiden Jokowi mengumumkan perombakkan kabinet  merupakan hal yang perlu diapresiasi.

Pasalnya, sebagaimana yang diutarakan oleh Tajuk Rencana Kompas (23/12/2020),  bahwa  bangsa ini tengah menghadapi tantangan berat. Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah Pandemi Covid-19 yang terus meningkat, program vaksinasi yang membutuhkan energi besar, krisis ekonomi dan tensi sosial yang cenderung meningkat, di mana hal itu akan menuntut soliditas dari Kabinet Jokowi.

Secara kasat mata dapat diamati bahwa, keputusan Presiden Jokowi terbilang tidak biasa, seperti diangkatnya Budi Gunadi Sadikin, seorang Insinyur fisika nuklir dan bankir untuk memimpin Kementerian Kesehatan.

Mengingat besarnya tantangan yang dihadapi, maka publik berharap supaya para Menteri yang diipilih oleh Presiden Jokowi memiliki loyalitas yang tunggal kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Sebagaimana  diketahui bersama bahwa,  tantangan bangsa ini amat berat.  Bangsa ini membutuhkan sosok menteri yang bisa meningkatkan  kepercayaan publik kepada pemerintah dan mampu menggerakkan birokrasi untuk melayani masyarakat.  

Selain itu, para menteri juga harus mempunyai kecakapan komunikasi publik yang mumpuni. Karena harus diakui  bahwa,  komunikasi publik pemerintah dalam kabinet sering saling silang  sehingga kerap kali membingungkan publik.

Dengan demikian,  maka Tajuk Rencana Kompas (ibid) menyatakan bahwa,  momentum perombakkan kabinet harus dipakai untuk meminta komitmen kembali para menteri untuk tidak melakukan tindakan tercela seperti korupsi atau menerima komisi dari anggraan negara.

Untuk itu, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang yang memimpin kementerian hendaknya didedikasikan untuk kepetingan rakyat.

Wajah Politik  Indonesia

Presiden Jokowi sebagaimana biasanya, selalu mengambil keputusan politik penting yang berkenaan  dengan urgensi soal Kebangsaan dengan pola pendekatan out of the box.

Keputusan Politik yang diambilnya sering kali  bernuansa tidak populer, karena berlawanan dengan arus utama persepsi  publik.

Sehubungan dengan itu, sudah tentu masih segar dalam memori publik,  bagaimana Jokowi tampak piawai dalam political game dengan menampilkan "pelukan politik"  di atas MRT Lebak Bulus bersama Prabowo Subianto, rival beratnya dalam pertarungan Politik di Pilpres 2019.

Dan pada akhirnya Prabowo Subianto diangkat untuk menduduki salah satu posisi penting dan strategis di Kabinet Jokowi yaitu, sebagai Menteri Pertahanan.

Pada hal, dalam perhelatan politik itu, terjadi persaingan politik yang sangat  keras dan tajam, sehingga rasanya seperti langit politik Indonesia nyaris runtuh dan rebah rata dengan tanah.

Dan disitulah, berlaku secara efektif adagium klasik yang menyatakan bahwa, dalam politik, "tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepetingan"

Seirama dengan adagium itu, maka tidaklah mengherankan, jika kemudian dalam Resuffle Kabinet kali ini, Presiden Jokowi memutuskan untuk mengangkat Sandiaga Uno, Calon Wakil Presiden bersama Prabowo Subianto, sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Itu artinya, dalam Kabinet Indonesia Maju,  terdapat pesaing Jokowi dalam Pemilu Presiden 2019, Prabowo dan Sandiago, berada di dalam kabinet. Dan tampaknya  situasi dan formula politik seperti ini, mungkin saja hanya terjadi di Indonesia, dimana pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang kalah ketika perhelatan Pilpres, menjadi Pembantu Presiden Pemenang Pilpres.

Keputusan Presiden Jokowi ini tak pelak menimbulkan reaksi melankolis, baik dari mantan Kubu 01 maupun dari mantan Kubu 02,  dan mereka  pada akhirnya  hanya mampu meratapi apa yang telah terjadi, sembari berujar dalam duka dan kecewa, kalau begini jadinya, mengapa harus ada Pilpres dengan modus operandi seperti Perang Baratha Yudha.

Keputusan Presiden Jokowi mengambil langkah Politik yang  demikian,  merupakan gambaran indikatif yang menunjukkan bahwa Jokowi merupakan sosok Politisi Cerdas dan sekaligus Negarawan Besar yang selalu dan senantiasa menempatkan kepentinga Bangsa dan Negara di atas kepentingan Pribadi, Kelompok, Golongan dan Afiliasi Partai Politik.

Oleh karena itu, Wajah Politik Indonesia hari ini dapat dilihat dan dipahami  sebagai suatu konfigurasi baru yang oleh Herry Priyono (2020), disebut sebagai Politik Settlement atau Penyelesaian Sementara dan bersifat Situasional.

Hal ini disebabkan karena dinamika politik di Indonesia selalu bersifat relatif, tidak ideal,  dan karena itu tidak ada solusi yang permanen, dan postur politik dibangun hanya atas dasar kepentingan sesaat.

Selain itu, dalam perspektif jangka panjang menuju ke Pilpres 2024, Jokowi  sedang berupaya untuk memulihkan kepercayaan publik  dan menempatkan dirinya sebagai King Maker setelah masa jabatannya berakhir dalam rangka  menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancaaila dan UUD 1945 dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Oleh karena itu,  moral politik yang  dapat dipetik dari dinamika Resuffle Kabinet dan Wajah Politik Indonesia dengan mengakomodir lawan politik adalah membangun Kesadaran Politik demi kepetingan bangsa dan negara yang jauh lebih besar, dan menghindari jebakan Baper Politik sebagai akibat dari Pragmatisme dan Oligarki Partai Politik.

Oleh Goris Lewoleba
Dewan Pakar dan Juru Bicara Vox Point Indonesia


Tidak ada komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India