”BARANGSIAPA INGIN BAHAGIA, JANGANLAH MENCARI KEBAHAGIAAN”


Besok Jumat, 23 Oktober 2020 malam, saya akan memberikan kuliah umum tentang ”Kebahagiaan menurut Kant” di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Acara ini gratis bagi peserta yang mengikuti online. Hanya perlu mendaftar.

Kant menempatkan kebahagiaan dalam rangka etika. Etika adalah filsafat moral. Kant mengkritik semua jenis etika teleologis, yakni etika yang menilai baik buruknya sebuah tindakan berdasarkan telos/ujuannya (mis: etika eudaimonia, utilitarian dan hedonis). Kritiknya adalah bahwa etika teleologis mendegradasi moralitas menjadi semata-mata instrumen untuk mencapai tujuan tertentu. Dan konsekuensinya kita tidak dapat lagi membedakan mana tindakan yang bermoral dan mana yang tidak. 

Etika teleologis jatuh kepada heteronomi moral. Padahal prinsip etika, menurut Kant, haruslah otonomi kehendak atau kebebasan. 

Kant kemudian merumuskan etika deontologi. Etika ini mengatakan bahwa nilai moral sebuah tindakan ditentukan oleh motivasi tindakan tersebut. Sebuah tindakan mengandung nilai moral bila tindakan itu dilakukan semata-mata atas kesadaran akan kewajiban (Yunani: deon) menaati hukum moral. Etika deontologi adalah etika kewajiban.

Kant mengkritik tajam etika eudaimonia. Etika ini mengatakan bahwa tindakan yang baik adalah yang mendatangkan kebahagiaan. Menurut Kant, semua etika eudaimonistik itu egois, mementingkan kebahagian diri sendiri. Jika moralitas dikaitkan dengan kebahagiaan maka tidak mungkin semua orang bermoral; bagaimana jika pencapaian kebagiaanku merugikan orang lain? Kritik lainnya: sesungguhnya orang tidak tahu apa yang dapat membuatnya bahagia. Kekayaan, popularitas, kepandaian, kekuasaan, kecantikan dll, tidaklah menjamin kebahagiaan. Kita juga tidak tahu tindakan mana yang menghasilkan kebahagiaan. 

Selain itu, melakukan hal baik tidak selalu menjamin kebahagiaan. Kebahagiaan justru sering tercapai dengan melanggar hukum moral, misalnya korupsi, berbohong, dll. Kebahagiaan bukan ideal akal budi, melainkan ideal imajinasi yang didasarkan hanya atas pengalaman empiris, katanya.

Secara singkat: Prinsip-prinsip empiris eudaimonistik sama sekali tidak dapat menjadi dasar hukum moral. Prinsip moralitas harus universal dan niscaya (a priori), dan tidak dapat didasarkan atas pengalaman (aposteriori). 

Kant bukannya menolak kebahagiaan. Kebahagiaan katanya adalah salah satu kebutuhan alami manusia. Namun pencapaian kebahagiaan hanyalah salah satu kewajiban di samping banyak kewajiban manusiawi lainnya. Dan tatkala pertimbangan kebahagiaan dan kewajiban moral bentrok, orang harus memilih kewajiban moral. 

Moralitas tidak secara niscaya mengasilkan kebahagiaan. Namun, kehidupan yang bermoral akan menghasilkan kebahagiaan tertentu pada diri seseorang, semacam perasaan puas, karena telah mengalahkan godaan untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral. 

Namun, kebahagiaan ini tidak boleh menjadi motif untuk bertindak moral, sebab hal itu akan jatuh pada heteronomi moral. Kebahagiaan adalah hasil tidak langsung moralitas. Karena itu, barangsiapa ingin bahagia, janganlah mencari kebahagiaan (karena kita tidak tahu apa yang membuat kita bahagia), melainkan hiduplah bermoral.

Moralitas, kata Kant, bukanlah petunjuk bagaimana menjadi bahagia, melainkan merupakan syarat-syarat rasional (conditio sine qua non) kebahagiaan. Bila kita bermoral kita memiliki alasan untuk berbahagia. Dan bila kita bahagia, itu karena kita bermoral.

Kebahagiaan kemudian menjadi salah satu elemen penting dalam tiga postulat moralitas. Kant mengatakan rasionalitas moralitas mengandaikan tiga postulat, yakni kebebasan, immortalitas jiwa, dan eksistensi Tuhan. Kebahagiaan termasuk dalam realitas Tuhan. Orang yang hidup bermoral akan bertemu dengan realitas Tuhan. 

Maksim dalam doktrin kebahagiaan Kant adalah: carilah dahulu kerajaan hukum moral dan kebenarannya maka semua kebahagiaan itu akan engkau peroleh.





Tidak ada komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India